Beberapa waktu lalu, di kampus kami terjadi peristiwa yang menyedihkan. Ada seorang gadis belia terkena tumor otak, setelah melawan penyakitnya dalam waktu yang cukup panjang akhirnya dia meninggal dunia..
Harapan satu-satunya dari gadis itu semasa hidup adalah menyelesaikan kuliah. Liku-liku kehidupan sebagai mahasiswi telah dia lewatkan selama empat tahun, namun kondisi penyakitnya semakin parah, sehingga perlu rawat inap di rumah sakit.
Dokter memperkirakan hidupnya sudah tidak lama lagi, sedangkan harapan yang dia inginkan masih belum tercapai. Sanak keluarga dan handai taulan datang mengunjungi sekolah tersebut. Setelah Rektor mendengar cerita tentang gadis tersebut, dia memberikan perintah kepada sekretaris universitas untuk mengatur penyelenggaraan wisuda di kamarnya.
Menurut cerita, pagi itu hati si gadis luar biasa gembira. Dia meminta suster membantunya berdandan dan mempersiapkan diri. Semuanya tampak seperti sebuah pesta besar untuk melepas kehidupannya yang terakhir.
Membaca e-mail dari sekolah yang dikeluarkan secara berkelompok, mengenang kembali kehidupan sehari-hari gadis itu, banyak orang yang meneteskan air mata. Saya menceritakan kejadian ini kepada ibu saya melalui telepon. Ibu menghela nafas panjang, bergumam pada dirinya, mungkin hutang piutang karma gadis itu pada masa kehidupan sebelumnya sudah terlunasi, oleh karena itu dia harus pergi. Mungkin juga ini merupakan dosa dari kedua orang tuanya.
Di desa saya ada satu kepercayaan yang mengatakan, jika seorang anak yang dibesarkan orang tuanya dengan susah payah, dia meninggal sebelum bisa membalas budi kepada orang tuanya, mungkin hal tersebut merupakan hutang karma dari kedua orang tuanya di masa lalu.
Saya kira, jika bisa diulang kembali dari awal, orang-orang yang terbenam dalam air mata kesedihan dapat dipastikan mereka pasti sedang menghapus hutang karma mereka, membawa tubuh yang murni dan bersih datang ke dunia ini untuk berinkarnasi, dengan demikian dalam kehidupan ini tidak ada kesedihan lagi.
Tetapi ketika sebuah cerita telah dimulai, maka kita harus melanjutkannya hingga akhir. Sama halnya saat kita sedang duduk di dalam kereta api, kita hanya bisa turun ketika kereta itu berhenti. Ingin mengulang dari awal harus menunggu setelah kisah ini selesai. Bila kita amati dengan teliti, maka proses kejadian yang demikian ini dapat ditemui dimana-mana.
Beberapa hari yang lalu, seorang teman yang bertugas sebagai pengawas ujian bahasa Inggris menceritakan pengalamannya. Selesai ujian, saat kertas ujian dikumpulkan, ada seorang murid perempuan maju ke depan. Dia hendak meminta kembali kertas jawaban, karena ada sebuah pertanyaan yang jawabannya lupa diisi, pengawas itu menolak karena hal ini melanggar peraturan ujian, dan juga tidak adil bagi peserta lainnya.
Murid perempuan itu segera menangis, dia berkata bahwa untuk ujian kali ini dia pasti tidak akan bisa melewati. Walaupun hati teman saya tidak tega, tetapi dia tetap mempertahankan prinsip dan memberikan nasihat kepadanya bahwa ujian kali ini telah selesai, dia bisa memperbaiki pada ujian yang akan datang.
Ada sepotong cerita dalam film, yang bisa menjadi cermin dalam kehidupan ini. Sejak kita melangkahkan kaki yang pertama dalam perjalanan hidup ini, kita hanya bisa menghadapi segala kesengsaraan dan kesulitan dengan tegar dan tenang, serta kepala dingin dalam melanjutkan perjalanan hidup ini, karena semua hal yang terjadi pada diri kita adalah hasil yang kita tanamkan sendiri.
Jika ingin kehidupan mendatang tidak lagi mengalami siksaan semacam ini, mungkin hanya bisa dimulai dengan meningkatkan akhlak moral dalam hati kita sendiri, membedakan dengan jelas mana yang baik dan jahat, mempertahankan diri untuk berbuat hal-hal yang baik, dan tidak ego kepada orang lain. Mungkin hanya dengan demikian baru bisa mengharukan Tuhan. (Epochtimes.co.id - limadua.indonesianforum.net)